Minggu, 04 Oktober 2009

Perceraian

ini malam kesepuluh aku menunggu di sisi taman, tapi kau tak juga paham gemuruh penuh isyarat, aku kirimkan lewat pesan-pesan panjang berdentuman, ke arah huruf-huruf yang telanjang pucat

kau semestinya mendongeng cerita, kepada anak-anak sebelum mereka terlelap digerayangi mimpi, mungkin kau lupa bagaimana mengingat saat pertama, kita berciuman. kau memintaku melakukannya sekali lagi

ah terlalu sentimentil bukan? kurasa demikian, adegan itu dilakukan diam-diam di taman belakang, ketika matahari menyerak keperakan, kau terpaku gemetaran, aku dingin meriang

apa yang dapat dibagi oleh kenangan, jika perceraian mengajak berlupa, merias wajah dengan cermin tanpa bayangan, dan rumah yang dipenuhi prasangka

(2009)

Berilah Kata

berilah kata pada tali gitar yang enggan berdenting mengisi gelas dengan udara sepi.

mata dan jemari akan mengambang di situ. bibir kaca yang di penuhi not-not pendek. semacam puisi tergesa merayu. menyatakan kesunyian pada kelelakian yang dipanah beku bulan-bulan.

aroma kopi melayang ke atas. menafsirkan tiap petikan antara melodi dan nada bass. dari hamparannya yang lemas. mata telah merenangi lubuk nafas paling luas.

dari bulumata yang indah. notasi apa yang dapat dihantarkan menuju langit tak berbadan.

alangkah pelabuhan yang bergerak-gerak terapung di petikan pertama. ting ! sunyi bagai dermaga yang menambatkan kapal-kapal. terdampar di satu sisi yang berdenting di petikan lagu terakhir. meriwayatkan gelisah dalam pokok-pokok kenangan yang jatuh ke dinding bebal

(2009)

Beri Aku Kesepian

beri aku kesepian, walau sekejap, puisi akan hadir bagai mataair, mengalir dari telapak tangan dan membening ke dalam buku-buku tak berwarna

engkau akan melihat sesuatu, terbujur di ruang kosong, kabut jiwa yang susut setelah retak dibaca kenangan

matahari yang telentang, tak mengirimku menjadi orang asing, namun aku melupakan janji pada sebuah kota, yang tak tahu kapan bisa kembali menyusun kerangka mimpi

karena angin yang baru saja lewat, seakan terhenti.

aku telah berubah, membiaskan sepi pada sepasang mata, yang enggan menerjemahkan bahasa

lihatlah, bagaimana kerinduan mengering di telinga yang tak lagi mendengar lagu kesunyian. mati dan menjelma seekor burung lalu hinggap di sebatang pohon

beri aku pengertian, karena aku sendiri lagi. tanpa kekasih yang mempersiapkan pisau di kamar. mungkin aku berjalan dengan sebuah kereta. di tengah belantara, di temani pepohonan, angin, burung, dan mimpi yang tertunda

di manakah angin gaib yang menyalakan mataku, ataukah kenangan akan selalu karam

di sini. langkah yang kutuliskan pada api

(2009)

Gelagas

seekor kupu-kupu berayun tanpa angin, ada suara menafsirkan kemarau bagi seorang pertapa, dengan sebuah kitab yang ditulis seratus tahun setelah kematiannya.

bila seratus bunga enggan dimekarkan adakah yang dapat menggugurkannya, untuk mengubah arah cahaya memalamkan sepuluh siang

kepada matahari, kepada perasaan yang membuat musim mematahkan kalender. tanpa angin, kupu-kupu berayun menghadapi nasibnya. dan berputar di pucuk bunga-bunga...

(2009)

Sabtu, 26 September 2009

Malam Sepasang Mabuk

bulan separoh membikin bayang-bayang di sebuah garang, dua remaja mabuk kepayang menuntun malam lengang
dan mabuk terus berputar panjang

apakah cinta bagi sepasang perasaan yang ditiupkan ke dalam mata masing-masing. langit tak mengirim isyarat dalam angin kering yang membaca setiap ratapan

tangis rahwana atau kutuk si paitlidah-kah yang rebah di rumpun mawar belakang rumah ?

tak ada apa-apa, tak ada-apa, mereka tak mendengar apapun

(2009)

Jumat, 25 September 2009

Perempuan Embun

kaukah yang berdiri di ujung daun
menunggu pagi menurunkan embun
dan matahari cahya mengunggun di langit

bayang-bayang dan awan
nampak pias disapu
tarianmu yang berujud angin
berbelok di atas persimpangan
yang akan dipilih seorang lelaki
untuk upacara kelahirannya

Kamis, 24 September 2009

Tentang Sepotong Senyum


-Eka Putri, Pratiwi

sepotong senyum telah kusimpan sebagai gambar dan sebuah tanda yang membuat tarikan nafas mengalah dan mengambang di kartunama dan nomor telepon

kapan ke kotaku lagi : katamu. dan kau tahu pertemuan mengistirahkan kerinduan menjadi tidak lebih berarti untukmu mencari sesuatu yang kutinggalkan ke dalam buku-buku dan warna jilbabmu yang luruh di toko buku

suatu ketika kau menangis. kemudian tetesnya menjelma kupu bersayap ungu. berkejaranlah ia di antara alamat jalan yang ditumpangi pertanyaan. mungkin kau mencariku di sebuah terminal untuk menjawabnya. mungkin saja kau berlari menuju gedung pertemuan. kau membaca sepi yang dibaui luka. di sana seorang lelaki lebih baik dilupakan. dengan caramu sendiri.

sepotong senyum, dan berkunjung ke suatu kota, adalah ingatanku kepada alamat rumah dan warna jilbabmu yang digenggam oleh telapak tangan yang dingin

(2009)

Minggu, 13 September 2009

Masih Adakah Huruf

adakah huruf yang mampu menuntaskan kegelisahanku ini

jika malam pekat dan secangkir teh, menggiringku ke arena tanpa warna

menggenapkan masakanak dan remajaku hingga ranggas bersama waktu yang mengendap dan basah

aku tak perlu belajar kedewasaan dan kelelakian darimu, sebab candu malam begitu kental menjelajahi tulang-belulang

dingin yang enggan kembali ke muasalnya, melambatkan malam kepada pagi

membuatku mengerti rahasia pertama yang tak pernah disebutkan ayah, darimana aku yang tersesat dilepas dunia, tak mau berbagi kembali

(2009)

Sabtu, 12 September 2009

Serenade Diam

-teringat Reni Oktari

mungkin untuk kesekian-kalinya angan-angan mengalahkan bahasa untuk kuterjemahkan ke dalam matamu yang menyimpan rasa cemburu

atau di lorong tak berpenghuni menjadikan kita saling menatap masing-masing isyarat. kitapun melemparnya ke atas. kau bergumam : aku menyukai bintang.
tunggulah sebentar di bangku itu, aku ingin di sini menatapnya.

tapi malam melayang ke sisi, tepat di antara angin yang tak dipetakan di buku diary, dan alamat kusimpan di lemari. membuat aku malas mengeja tanganmu yang bertolak menuju kenangan mati

sejak buku-buku mencatatnya, kau tak mungkin mengubah halaman yang ditumbuhi surat-surat dan pintu-pintu yang tak pernah terbuka oleh siapapun, termasuk aku

tetaplah diam, manakala aku menuliskan kembali ingatan yang jatuh dilindas puisi


(2009)

Pertarungan Bakat: Puisi Yang Bermata dan Tak

sebuah notes dari facebook Pringadi Abdi

geliat perpuisian indonesia di kalangan anak muda tampaknya makin menjadi
setidaknya dari range umur kelahiran 89-93 ada beberapa nama yang memiliki
potensi untuk meraih puncaknya masing-masing

puncak yang bukan sekadar puncak
puncak yang berbeda. puncak yang sedikit

boleh aku sebut beberapa nama yang sering menjadi inspirasiku

1. Dea Anugerah, si bengal kelahirandari bangka 27 Juni 1991
http://sepasangbalingbaling.blogspot.com/

PELAUT TUA

Oleh: Dea Anugrah

kudengar kau begitu bangga
pada kisah-kisah tua
pelayaranmu
yo ho ho
kau pelaut tua

kau suka tuak
suka celana dalam wanita

"aku adalah penakluk,
aku adalah petualang!" katamu
berulang ulang
padahal aku tahu kau cuma pelaut tua biasa
yang tak lagi bisa berlayartapi masih suka bir
tapi masih suka isi celana dalam wanita

yo ho ho
kaulah pelaut tua
yang kalau mati nanti tak punya kubur
makanya tak bisa
dimakan cacing kayak para koruptor

katanya juga pelaut tua
kalau mati
rambutnya tetap keren
sampai roh yang nyasar pulang lagi

yo ho ho
kaulah
pelaut tua yang
tak jadi mati
pelaut tua yang takkan
mati!
karena kau yakin
bahwa kematian cuma ilusi
kayak pesulap separuh botak yang sok ajaib
di televisi
kayak penyair separuh botak yang sok ajaib
sok seni

(dan aku percaya kalau yang bikin sakti
itu rambut afromu yang benar-benar asli).


2. Eko Putra, si luwes dari Sekayu, kelahiran berapo kau, Ko....masih tingkat 1 pokoknya
http://ekoputra-puisi.blogspot.com/

/untuk apa kau membalut kata-katamu dengan berlapis-lapis makna. saat semua orang tak mengerti apa maumu. engkau bersorak kegirangan. tidakkah engkau dilahirkan dari sebuah kesederhanaan sikap yang saling mengerti. engkau akan selalu asing bila tak ingin berbagi. ya berbagi saja apa adanya. engkau dapat bercerita tentang petuah-petuah lama dan dongeng-dongeng tua. tentang malaikat yang mengajarimu bersujud. tentang puisi yang beranak pinak dari tangan jadahmu. kemudian kau lepas ia mengembara dicaci-maki atau...o, penyair lugu adakah malam-malam selanjutnya untuk kau akhiri permenunganmu/

3. Bernard Batubara, si rookie dari Ponti , kelahiran Maret 1989
http://bisikanbusuk.blogspot.com

4. Rozi kembara, 27 Juni 1990
http://penyairamatir.blogspot.com/

SEBUAH PASAR YANG BERDENYUT DI URAT MALAM

nasiblah yang menaburkan bayak suara kedalam sekeranjang malam
kita hanya menghampar kemudian menghampar seperti selembar sajadah
ujungnya terjulur hingga ke bibir kuburan. barangkali juga serumpun rumputan
menerus terinjak tanpa sekalipun berteriak.

(kelenjar langit yang mulai jarang menaburkan hujan
sekedar paham debar lirih doa yang kita sulam di parasnya)

kita hanya saling bertukar suara saling menawarkan nama sambil sesekali menerka
di sebelah manakah sebenarnya letak nyawa. sebab setiap jarum jam bergeser
seperti ada yang bergegas pergi pelanpelan menirukan usia yang semakin pucat.

Tanah Tangerang, Juli 2009


5. Aya, Strawcutestraw
http://kemudian.com/users/strawcutestraw

Konteks Malam

tadi malam, sehabis menyeka setangan blacu
pada aroma kopi keluak yang lama
terhidang-- tak kupegang
asap kebosanan terkepul
tajam
mencapai bohlam

tadi malam, sambil meresapi hidangan makan malam
sepotong gambar otak, tersaji
dalam kotak datar televisi
simbah mata paruh hampa
menatap lara

(Gaza, aku tak cendekiawan sajak
maka di sini
aku tetap
dengan sebilah kapak)

menanti perompak


6. Syaiful Bahri, sang petualang, kelahiran 1991

kaulihatlah sendiri di notesnya
eksprimental....

Tardji Di Restoran

di sebuah restoran
tardji duduk sendirian
sambil mengelus dagu jenggotan
sampai tak sadar ia tiduran

seekor kucing kecoklatan
menyembul dari rambutnya yang uban
dengan mata yang berkilatan
kucing menerkam meja tamu di depan
sebab ia makan dengan pepes ikan

tardji tidur, tardji mungkin kecapek-an
habis baca puisi seharian

dengan tangan yang gemetaran,
tanpa babibu kucing digebuk satu hentakan
hingga mati darah meleleh bermuncratan

tiba-tiba tardji dikejutkan
mejanya basah oleh air cucian
ternyata ia mimpi saja
bukan betulan

dengan langkah gontai ke sudut kanan
tempat kasir menunggu bayaran
sambil tersenyum seperti orang kasmaran
tardji disodor cek duapuluhan
jelas tak suka ia cara beginian
sebab ia cuma pesan kopi sasetan
kemahalan, itu namanya pemerasan

sambil memanggil petugas keamanan
kasir berkata demikian
"lha iya duaribu buat kopi lapanbelas ribu buat tiduran, coba kalau tidur di perhotelan, pasti bayar ratusribuan, pilih bayar atau gebukan !"


agak kesal tardji pada pelayan
dibayarlah itu tagihan
ia berjalan menatap awan
meninggalkan kampret restoran

belum jauh dari restoran
ia melihat dompet di tengah jalan
diambillah dengan cekatan
lalu dibuka sambil siulan
ternyata tak seperpun uang ditemukan
hanya potret lusuh enam incian
nampak dua penyair berjabat tangan
chairil dan rendra sambil senyuman
di belakangnya ada tulisan, kapan kita reunian ?

(2009)

Sabtu, 29 Agustus 2009

Catatan 180809

aku mendengar cicak berbisik di dinding, aku mencium aroma waktu berkarat dan kering. gelisah nampak gerimis, berlalu dalam diri yang mendesis.

bau kopi tak mampu mengirim risau ke mulut cangkir. tiktok jam, dan malam sepertiga akhir. mengusung sepi beralamat jauh, sampai ke tingkap paling rapuh...

duh, bayang masakanak. adakah kau mengerti, bila remaja telah mengusaikan kejujuranmu berkata

aku berjalan pada sepi yang menjadi mantel, dan sunyi sebagai isyarat tanpa tanda tanya

aku mengatupkan setiap permenungan ke dalam segala yang tak ada, dan siapa-siapa yang mampu kusebutkan satu persatu, hadir dengan sendiri

aku mendengar cicak kesepian, aku melihat jiwaku yang kesepian, di tengah malam yang retak tanpa simpul


2009

Orang-Orang Bukit Meranti

kirimlah kami cahaya
yang menerangi rumah kami
bila malam menutup
biar tak ada bulan
kami tak akan takut kehilangan

kirimlah kami jalan bagus
untuk hidup kami yang panjang
bila hujan tiba tak ada becek
kami tak akan takut kelaparan

kirimlah kami air bersih
untuk mandi dan mencuci
agar anak-anak kami
tidak kudis dan kurap-korengan


kirimlah kami sinyal telepon
agar kami tahu kabar orang-orang di desa
walaupun sedang mantang balam

kirimlah kami cahaya
kirimlah kami jalan bagus
kirimlah kami air bersih
kirimlah kami sinyal telepon
agar kami mengerti
bahwa zaman adalah sahabat bagi kami

2009


nb : ini adalah hasil pembicaraan dengan orang-orang bukit meranti
suatu masyarakat kecil yang tinggal di pelosok di antara hutan-hutan rimba
di perbatasan desa kertajaya dan desa keramat jaya

mantang balam : menyadap karet

Jumat, 28 Agustus 2009

Altar Sunyi Malam Keseratus

seratus malam aku terlelap. merayapi waktu yang pengap. remaja rampung di sini, kamar yang selalu berbau puisi. seperti penyair abad pertengahan. aku memandang kapal menuju pelabuhan, menunggu kabar yang selalu gantung dari seorang nakhoda. seketika didih gelombang merasuk lewat mimpi panjangku, lewat geladak yang dijaga penumpang, dan kemudi yang melambatkan daratan. aku sendiri merentangkan keduatangan. menghirup bau garam. ada lelah yang terseret di antara suara yang tak mampu menjangkau ujung-ujung kuku. mengendap di penciuman. sepi dan lelah menunggangi garis-garis silam. naluri dari ingatanku terkirim ke suatu negeri tanpa hukum untuk menyelesaikan perkara cinta.

sampai di malam yang terakhir. aku terpelanting di antaran pohon-pohon bakau. hidup diam, dalam kata-kata yang murni sendiri. bahasa telah melupakan sirine kapal dan debur ombak. aku bernyanyi. aku melihat bulan tergantung di antara dahan-dahan ketapang. rimbun dan elok cahayanya. bagai mata ibu yang memintaku untuk berlaku jujur.

ah. alangkah dalam sunyi memanggilku. hingga aku melupakan siapa yang menunggu penuh janji. ( di dalam sunyi tak ada kanak-kanak, tak ada remaja, tak ada dewasa)

yang kutemukan adalah jiwaku menetes ke dalam waktu. roh dan puisi bergandengan menuntunku sampai ke gerbang penghabisan. rahasia dan isyarat tidak ada yang disembunyikan bila makna dapat diterima dengan sederhana. itu adalah ingatanku yang kesekian dari beberapa risalah yang kutemukan di tepian pantai.

/untuk apa kau membalut kata-katamu dengan berlapis-lapis makna. saat semua orang tak mengerti apa maumu. engkau bersorak kegirangan. tidakkah engkau dilahirkan dari sebuah kesederhanaan sikap yang saling mengerti. engkau akan selalu asing bila tak ingin berbagi. ya berbagi saja apa adanya. engkau dapat bercerita tentang petuah-petuah lama dan dongeng-dongeng tua. tentang malaikat yang mengajarimu bersujud. tentang puisi yang beranak pinak dari tangan jadahmu. kemudian kau lepas ia mengembara dicaci-maki atau...o, penyair lugu adakah malam-malam selanjutnya untuk kau akhiri permenunganmu/

di sini segalanya tak memiliki apa-apa
kecuali diriku sendiri yang menuliskan kalimat seperti ini.


2009