Minggu, 03 Januari 2010

Tulisan Muhammad Taufan di Facebook

Semangat Geist dan Motif Radif dalam Sajak
Penyair Muda Eko Putra.



Desember
05 Desember 2008 jam 14:14



desember, o desember
aku ingin melepas
sepasang janin matahari
dalam syahadat puisi
yang semakin
tak kumengerti
karena tubuhmu
adalah akhirku yang bermula
di januari


tapi bayang ini
adalah hujan kesumat
memberiku langit, hampir kiamat
yang kurasa khianat laknat
sampai kukembali lumat

desember, o desember
apakah sungai di dadamu
masih membentang sepanjang
hayat, aku memulai
segala hikmat, membawa
sebatang perahu
tempat nasib menggumpal beku
menjadi sepi dan nyali batu
hidupku yang semakin batu
di sayap biru, aku mencari
di belantara moyangku, dirimu
dari magrib ke gaib subuh

desember, o desember
ini tanganku mana rupamu





Saya mendapatkan puisi ini dari sebuah note di Facebook penyair Eko Putra. Menarik sekali karena puisi ini menyiratkan dirinya sebagai pemuda yang tua sebelum waktunya. Eko Putra yang muda belia, yang mestinya menikmati akhir tahun sebagai pestapora layaknya para remaja lainnya, sengaja disepikan, sekadar untuk merenung dan bertafakur.

Ketika saya membedahnya saya mendapatkan dua point penting dalam puisi eko putra ini, diantaranya:

1. Semangat Geist
2. motif radif (perulangan) dalam struktur puisinya.

1/
Penyair seperti pejalan. Meninggalkan tempatnya menuju sebuah daratan waktu. Waktu baginya adalah bandul mekanis yang dikuasainya, kapan tahu harus digoyang, kapan tahu harusnya diam.

Itulah yang menjadi konsep waktu menurut aristoteles kemudian, bahwa waktu adalah pertanda eksistensi manusia. Waktu memiliki awal dan akhir. Sementara Plato membentangkan waktu dari tiada menuju ada. Waktu mewujud bahkan sesuatu yang kita sebut sein (ada) berasal dari ketiadaan, sehingga tak menafikan keberadaan Tuhan yang absolut. Bahkan waktu ada sebelum sesuatu ada.

Waktu kreatif manusia kemudian bertarung dengan otoritas ketuhanan. Cogito ergo sum yang dipegang teguh para filsuf kontemporer sejak jaman renaissance bertarung hebat dengan pemegang kepercayaan atas kun faya kun-nya Tuhan.

Atomistik demokritus, menandakan bahwa Tuhan aktif dalam wacana tentang waktu. Memoderasi antara sikap fatalistik dengan naifisme.

Tuhan aktif diantara pergerakan atom. Dimana inti atom memproduksi satelit yang mengelilinginya (electron dan proton) sebagai kelangsungan hidup. Kepercayaan demokritus ini secara pasti direduksi oleh kaum assyariyah pada masyarakat muslim, tentang manifestasi nasib. Takdir adalah perhentian nasib yang sudah ditentukan berdasarkan intervensi Tuhan dan manusia.

Sajak Eko Putra adalah tanda perhentian nasib dari takdir yang sudah dipetakan,
“aku memulai segala hikmat, membawa sebatang perahu, tempat nasib menggumpal beku menjadi sepi dan nyali batu, (dari) hidup yang semakin batu.” Tetapi bagaimanapun baginya nasib adalah manifestasi ---ini disimbolkan dengan sebatang perahu--- yang didalamnya segala sesuatu dapat digerakan kepada hidup yang sudah terlanjur menjadi takdir.

Disini kita diingatkan dengan filsafat eksistensinya Karl Jasper, tentang cara berada manusia didalam takdirnya. Ada tiga konsep:

1. dasein
2. bewusstsein-Überhaupt
3. geist

Dasein adalah wujud psiko-fisik manusia terhadap alam semesta dimana ia berada. Dalam tahap ini manusia hidup hanya memenuhi kebutuhan tubuhnya saja. Manusia tak ubahnya masih berkubang dalam kesadaran hewaninya.

Point 2, bisa diartikan meminjam istilah ST Sunardi sebagai kesadaran umum, sebuah keadaan manusia merefleksikan alam semesta sebagai kesadaran mengumpulkan dan membangun ilmu pengetahuan.

Geist adalah roh yang bertugas memberi semangat pada praktik-praktik didalam dasein dan secara teoritis kepada bewusstsein-Überhaupt (kesadaran umum). Geist-nya Jasper terpengaruh dari ubermenschnya Nietzsche, begitu energik, hingga roh dapat dikatakan sebagai sumber kekuatan yang dikandung manusia itu sendiri.

Kemudian kita bisa meneruskan puisi Eko:
di sayap biru, aku mencari
dibelantara moyangku,
dirimu dari magrib ke gaib subuh.
Roh terbang dengan tanda “disayap biru” kebelakang, kembali menemukan perhentiannya “di belantara moyangku”. Sejarah ternyata memiliki perbatasan. Batasan-batasan yang tak dapat disentuh oleh ingatan. Dan akhirnya kita menangkap sebuah tradisi untuk memberi sekedar pelajaran pada alam modernitas sekarang. Bukankah modernitas adalah tradisi-tradisi yang berlari ke belakang?. Dan dengan roh (geist), intelek mencoba menjungkalkan tradisi ke modernitas. Tetapi secara bersamaan roh memanfaatkan tradisi sebagai nyawa dari modernitas itu, menampakkan jati dirinya menjadi manusia yang lahir dari kekuatan daerahnya, tempat lahirnya.

Oleh karenanya dalam warna syair-syair Eko Putra di beberapa tempat memunculkan semangat kedaerahan yang tentunya menyiratkan tradisi dari jati diri tempat kelahirannya, kita bisa melihat beberapa sajaknya yang bertema kedaerahan seperti, Bukit Selambas, Ulak Teberau, Di Danau Ulak Lia, Tubuh Kampung, dan Rumah Musi.

Itulah kemudian warna idealisme Eko dilanjutkan dengan berdirinya Komunitas Rumah Musi, sebuah komunitas para penyair muda sumatera selatan (tepatnya Sekayu, Sumatera selatan) yang peduli terhadap tradisi kampung halamannya.

2/
Geist adalah yang hakikat dari perenungan Eko, sebagaimana pengakuannya, ia telah mengalami ekstase, rasa mabuk dari rentetan kontemplasi kreatifnya. Bagaimana Eko mengamininya?.

Ya, tidak lain dengan menghadirkan geist itu dalam dimensi transenden. Sehingga terwujud sein dalam bentuk puisi, meskipun kita belum berani mengatakan sein puisinya eko sebagai ujung dari praktek asketisme seperti pernah dilakukan para penyair sufistik. Bukankah geist kaum sufistik itu didapatkan dari praktik zuhudnya para salik, sehingga nampak esoterik?.

Tapi bukan tidak nampak esoterik sajak ini. Unsur perulangan waktu berupa nama bulan diujung tahun nampak merupakan perpaduan yang menurut JC Burgel sebagai metode radif, perulangan dari ekspresi ekstase dan kontrol sekaligus.

Unsur perulangan ini, adalah sebuah metoda untuk menginkarnasi geist itu. Seperti proses tawaf dalam ibadah haji, atau rakaat didalam solat. Sebagai kesenian radif, bak horror vacuii (Dua atau lebih ornamen kembar) dalam ornament kaligrafi, bak stretto dalam nuansa musik. Desember o, desember… katanya seperti bunyi ayat suci Al Qur’an yang berulang kali dibunyikan, fabi ayyi ala irobbikumaa tukadzibaan*.

Itulah hidup seperti sajak seolah menemui siklus yang berulang, sejarah tentu toh berulang pula?.

Akhirnya kita berujung pada,

aku ingin melepas
sepasang janin matahari
dalam syahadat puisi
yang semakin tak kumengerti
karena tubuhmu
adalah akhir yang bermula
di Januari

Puisi kemudian bersaksi atas kehidupan dalam arti syahadatnya sebagai waktu, bukan sekadar monumental intelektual manusia semata. Tetapi semacam terbitnya terang dalam kerangka ganda. Bahwa kebenaran sejatinya masih bersifat relatif, mungkin karena sifat tingkatannya.

Tetapi kebenaran mesti dicari, layaknya Imanuel Kant, manusia menemukan penyerahan dirinya kepada Tuhan melalui momentum mandeg eksebisi akalnya.

Pencarian itu masuk kedalam siklus waktu. Manusia memiliki tubuh sebagai manifestasi yang perlu diberdayakan dalam amal ibadahnya sebagai pengemban khalifatullah di muka bumi. Sekaligus menafikannya, untuk keunggulan atas geist dari proses inkarnasinya.

Semua berulang, kita mengamini hidup seolah akan hidup seribu tahun lamanya, dan kita akan terus mengingat Tuhan, tatkala kita merasa hidup itu akan berlangsung dalam sedetik kedepan. Kita hidup, di bimbing waktu-waktu ritual untuk beribadah. Detik ini bertemu Tuhan dalam kebaktian theurgist di Gereja esok kita menjalani hidup sebagai manusia yang memiliki perut. Detik ini kita solat, dan kemudian kita memikirkan siapa manusia yang memerlukan bantuan kita…

Itulah geist dari proses inkarnasi yang didapatkan dari perulangan, mengandung kekuatan cara bereksistensinya manusia sebagaimana di utarakan Karl Jasper diatas tadi.

Metode radif dalam perspektif seni yang berketuhanan dapat kita temui pada beberapa tarian daerah di Indonesia, batik yang polanya berulang dan berpusat pada titik-titik, atau diwan-diwan radif Rummi yang sering di dendangkan dalam konser musiknya yang mengiringi tarian darwis.

Begitulah sejatinya puisi Eko ini, mengikuti pola radif, untuk mendapatkan geist-nya pada zaman yang terbentang di depan kepalanya. Namun meskipun begitu penyair muda ini tidak tenggelam dalam ekstase ketuhanannya. Semangat ketuhannanya kemudian ia sublimkan kedalam syair-syairnya yang bertemakan realitas sosial. Puisi Introwave misalnya, selain memendam semangat perubahan, Eko telah mencoba menampilkan sikap afirmasinya terhadap dunia urban. Tetapi masih saja dia bertahan dalam kerangka pandangan pemuda yang tradisionil. Lihatlah petikan sajak Introwave berikut ini:

dan ramalan bintang timur
dimulailah masa yang baru...
di masa ini, burung-burung kecil
hinggap di buku pelajaran
mereka bercerita
tentang kotak batu
yang dapat membaca dunia ketujuh
bersama alam ia larutkan

Dengan demikian kita merasa harus menyaksikan sikap ketimuran pemuda dengan kepeduliannya terhadap semesta alam. Kepedulian terhadap semesta alam adalah ketika pemuda beringsut terhadap siklus waktu yang dijalaninya yang meliputi siklus semesta pula.

Industrialisasi yang semakin hebat menerjang di timur (tentunya termasuk Indonesia), dan berkurangnya emisi karbon sebagai akibat dari deforestasi, menuntut pemuda macam Eko bisa menggiring pergaulan pemuda, khususnya para penyair untuk mendorong kepeduliannya terhadap lingkungan. Dan dengan itu kita dapat mendengar eco-puisi, puisi yang bercerita tentang lingkungan yang dapat mendorong kepedulian masyarakat terhadap alam semesta secara keseluruhan. Bukankah penyair juga, seperti halnya teknokrat mengeksploitasi keindahan alam itu?, O, ia toh, tanpa itu puisi akan kehilangan diksinya, layaknya teknokrat kehilangan bahan baku untuk pembuatan barang teknik misalnya.

Inilah geist dari puisi Eko diatas, Desember sebagai ujung tahun bukan sekedar sebuah momentum menjadikan puisi sebagai labirin ekstase kecintaan terhadap Tuhan semata, tapi sejatinya kecintaan itu harus disublimkan menjadi kesadaran terhadap kepedulian lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
***



Tabik!
M Taufan
18 Desember 2009

* Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?-Petikan QS Arrahman.