Sabtu, 29 Agustus 2009

Catatan 180809

aku mendengar cicak berbisik di dinding, aku mencium aroma waktu berkarat dan kering. gelisah nampak gerimis, berlalu dalam diri yang mendesis.

bau kopi tak mampu mengirim risau ke mulut cangkir. tiktok jam, dan malam sepertiga akhir. mengusung sepi beralamat jauh, sampai ke tingkap paling rapuh...

duh, bayang masakanak. adakah kau mengerti, bila remaja telah mengusaikan kejujuranmu berkata

aku berjalan pada sepi yang menjadi mantel, dan sunyi sebagai isyarat tanpa tanda tanya

aku mengatupkan setiap permenungan ke dalam segala yang tak ada, dan siapa-siapa yang mampu kusebutkan satu persatu, hadir dengan sendiri

aku mendengar cicak kesepian, aku melihat jiwaku yang kesepian, di tengah malam yang retak tanpa simpul


2009

Orang-Orang Bukit Meranti

kirimlah kami cahaya
yang menerangi rumah kami
bila malam menutup
biar tak ada bulan
kami tak akan takut kehilangan

kirimlah kami jalan bagus
untuk hidup kami yang panjang
bila hujan tiba tak ada becek
kami tak akan takut kelaparan

kirimlah kami air bersih
untuk mandi dan mencuci
agar anak-anak kami
tidak kudis dan kurap-korengan


kirimlah kami sinyal telepon
agar kami tahu kabar orang-orang di desa
walaupun sedang mantang balam

kirimlah kami cahaya
kirimlah kami jalan bagus
kirimlah kami air bersih
kirimlah kami sinyal telepon
agar kami mengerti
bahwa zaman adalah sahabat bagi kami

2009


nb : ini adalah hasil pembicaraan dengan orang-orang bukit meranti
suatu masyarakat kecil yang tinggal di pelosok di antara hutan-hutan rimba
di perbatasan desa kertajaya dan desa keramat jaya

mantang balam : menyadap karet

Jumat, 28 Agustus 2009

Altar Sunyi Malam Keseratus

seratus malam aku terlelap. merayapi waktu yang pengap. remaja rampung di sini, kamar yang selalu berbau puisi. seperti penyair abad pertengahan. aku memandang kapal menuju pelabuhan, menunggu kabar yang selalu gantung dari seorang nakhoda. seketika didih gelombang merasuk lewat mimpi panjangku, lewat geladak yang dijaga penumpang, dan kemudi yang melambatkan daratan. aku sendiri merentangkan keduatangan. menghirup bau garam. ada lelah yang terseret di antara suara yang tak mampu menjangkau ujung-ujung kuku. mengendap di penciuman. sepi dan lelah menunggangi garis-garis silam. naluri dari ingatanku terkirim ke suatu negeri tanpa hukum untuk menyelesaikan perkara cinta.

sampai di malam yang terakhir. aku terpelanting di antaran pohon-pohon bakau. hidup diam, dalam kata-kata yang murni sendiri. bahasa telah melupakan sirine kapal dan debur ombak. aku bernyanyi. aku melihat bulan tergantung di antara dahan-dahan ketapang. rimbun dan elok cahayanya. bagai mata ibu yang memintaku untuk berlaku jujur.

ah. alangkah dalam sunyi memanggilku. hingga aku melupakan siapa yang menunggu penuh janji. ( di dalam sunyi tak ada kanak-kanak, tak ada remaja, tak ada dewasa)

yang kutemukan adalah jiwaku menetes ke dalam waktu. roh dan puisi bergandengan menuntunku sampai ke gerbang penghabisan. rahasia dan isyarat tidak ada yang disembunyikan bila makna dapat diterima dengan sederhana. itu adalah ingatanku yang kesekian dari beberapa risalah yang kutemukan di tepian pantai.

/untuk apa kau membalut kata-katamu dengan berlapis-lapis makna. saat semua orang tak mengerti apa maumu. engkau bersorak kegirangan. tidakkah engkau dilahirkan dari sebuah kesederhanaan sikap yang saling mengerti. engkau akan selalu asing bila tak ingin berbagi. ya berbagi saja apa adanya. engkau dapat bercerita tentang petuah-petuah lama dan dongeng-dongeng tua. tentang malaikat yang mengajarimu bersujud. tentang puisi yang beranak pinak dari tangan jadahmu. kemudian kau lepas ia mengembara dicaci-maki atau...o, penyair lugu adakah malam-malam selanjutnya untuk kau akhiri permenunganmu/

di sini segalanya tak memiliki apa-apa
kecuali diriku sendiri yang menuliskan kalimat seperti ini.


2009